Advokasi Kepada Masyarakat dalam Sengketa Tanah
Latar belakang
Ada banyak kasus sengketa agraria khusus dalam bidang pertanahan yang terjadi di masyarakat, terutama sisa-sisa masalah Orde Baru maupun akibat pemiskinan struktural. Pemiskinan struktural adalah pemiskinan akibat pemerintahan yang memihak kepada struktur masyarakat pengusaha dan mengorbankan masyarakat lemah.
Pembebasan tanah rakyat secara paksa selain menghilangkan hak-hak milik atas tanah juga menyebabkan perpindahan penduduk yang semakin miskin mencari lahan-lahan kosong (tanah bebas) di berbagai daerah, menetap bertani selama puluhan tahun. Selanjutnya ketika ada pemilik kapital – baik pemerintah sendiri melalui BUMN atau BUMD maupun swasta – yang menghendaki tanah yang dikelola masyarakat miskin tersebut maka dilakukan pengosongan paksa dan kriminalisasi. Contoh kasus ini yang paling mutakhir adalah sengketa pertanahan antara masyarakat Margorukun Lestari Desa Kebonrejo, Kecamatan Kalibaru, Banyuwangi melawan PTPN XII, sebuah BUMN yang bergerak di bidang perkebunan.
Sedangkan contoh sisa kasus sengketa pertanahan akibat pembebasan paksa jaman Orde Baru adalah kasus Alastlogo Pasuruan, kasus tambak garam Kalianget di Sumenep (masih bersifat laten atau belum terang-terangan). Ada pula kasus tanah sisa zaman Belanda seperti contohnya pada kasus tanah Sendi, Pacet, Mojokerto. Selain itu, di zaman reformasi juga terdapat modus-modus tukar guling tanah-tanah masyarakat bekas tanah desa yang sudah diubah menjadi kelurahan.
Tampaknya kasus-kasus tanah rakyat akan terus berlangsung dan membutuhkan perhatian tersendiri. Dalam beberapa contoh kasus tersebut seringkali berujung pada sengketa hukum yang tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat korban yang lemah untuk dapat menikmati hak keadilan mereka.
Fenomena gaya pikir hukum legal formal dan positivistik ditambah dengan praktik penegakan hukum yang korup menjadi masalah penting yang menghambat pemenuhan hak keadilan sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang telah diakui dalam amandemen UUD 1945 dan secara khusus dirumuskan dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dalam keadaan seperti itulah advokasi menjadi sebuah kebutuhan bagi masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi dan intelektual. Tanpa ada upaya-upaya pembelaan kepada masyarakat lemah yang ditindas oleh oligarki kekuasaan politik-ekonomi maka hak keadilan hanya masih menjadi utopia.
Dalam konstruksi pemikiran hukum yang sejati, hukum adalah untuk keadilan. Para intelektual hukum yang membiarkan adanya penindasan adalah para intelektual yang tidak bertanggung jawab, sebagaimana pendidikan hukum mengamanatkan tegakknya hukum dan keadilan yang dalam pengertian lebih rasional adalah adanya upaya-upaya dan pekerjaan yang bersifat sosial, nonkomersial, untuk membantu masyarakat lemah ekonomi dan intelektual agar dapat berpartisipasi dalam hidup bernegara yang lebih adil.
BENTUK ADVOKASI
Masyarakat lemah dalam kasus-kasus sengketa pertanahan melawan penguasa (ekonomi) menurut pengalaman sekurang-kurangnya dapat dibagi menjadi beberapa jenis kategori menurut perspektif legalitas hukumnya, yaitu:
1. Kategori pertama: Masyarakat korban pembebasan tanah secara paksa yang mempunyai sisa-sisa bukti formal berupa girik atau petok D;
2. Kategori kedua: Masyarakat korban pembebasan tanah secara paksa yang kehilangan surat-surat bukti hak;
3. Kategori ketiga: Masyarakat yang menempati dan mengelola tanah-tanah bebas yang tidak mempunyai alat bukti hak atas tanah, lalu berhadapan dengan korporasi yang memperoleh hak formal atas tanah negara;
4. Kategori keempat: Masyarakat yang kehilangan hak kolektif atas tanah karena perubahan status desa menjadi kelurahan.
Di luar keempat kategori tersebut dimungkinkan ada jenis lainnya.
Cara menilai aspek legalitas dari keempat jenis atau kategori tersebut sebagai berikut:
1. Kategori pertama: penegak hukum lebih mudah mengakui hak mereka, tetapi tidak jarang penegak hukum terjebak dalam pemikiran legal formal jika ternyata lawan masyarakat tersebut mempunyai alat bukti sertifikat hak atas tanah. Cara mereka berpikir adalah: sertifikat lebih kuat dibandingkan girik atau petok.
Cara berpikir ini mestinya tidak benar, sebab sertifikat hak atas tanah dimungkinkan untuk dibatalkan atau menjadi tidak sah jika diperoleh dengan cara-cara yang tidak benar.
2. Kategori kedua: penegak hukum cenderung tidak mengakui hak masyarakat atas tanah yang tidak dibuktikan dengan alat bukti surat. Cara pikir itu juga keliru sebab bahkan dalam PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah pun diatur cara pembuktian hak lama dengan keterangan kepala desa yang menerangkan penguasaan fisik tanah selama 20 tahun tanpa gangguan hak, jika alat bukti surat tidak ditemukan (pasal 24 ayat 2 jo. pasal 39 ayat 1 huruf b angka 1).
3. Kategori ketiga: Penegak hukum akan membela korporasi yang mempunyai alat bukti hak berupa sertifikat hak atas tanah dan cenderung tidak mau meneliti apakah sertifikat serta gambar situasi atau surat ukurnya sesuai kenyataan atau tidak.
4. Kategori keempat: Penegak hukum mengikuti ketentuan hukum administrasi negara sehingga tidak lagi mengakui hak kolektif masyarakat bekas pemilik hak kolektif atas tanah. Dalam hal ini tanah jatuh menjadi tanah negara.
Bentuk advokasi yang dilakukan berkaitan dengan sengketa pertanahan tersebut pada dasarnya sesuai prinsip manajemen. Advokasi hendaknya dilakukan secara terstruktur, sedapat mungkin beraliansi dengan organisasi lainnya termasuk merangkul kekuatan-kekuatan lokal baik organisasi kemahasiswaan, keagamaan, kepemudaan, paguyuban masyarakat yang ada dan lain-lain.
Pertama, ddvokasi dilakukan dengan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi. dalam hal advokasi dilakukan secara sindikasi atau konsorsium maka perencanaan disusun secara bersama-sama, termasuk menyepakati target-target yang akan dicapai dan tindakan-tindakan lain ketika target serta tujuan tidak tercapai.
Kedua, memulai advokasi dengan membentuk kelompok belajar bagi warga: para pemuda, ibu-ibu, bapak-bapak, lalu mereka bertemu dalam bentuk paguyuban warga. Ini selanjutnya akan menjadi organisasi rakyat yang di dalamnya terdapat kepengurusan dan cara penggalangan dana perjuangan mereka. Organisasi perjuangan rakyat ini sangat penting agar pertama-tama terwujud manajemen gerakan masyarakat yang lebih rapi dan teratur, mampu menggerakkan semangat bersama, mengantisipasi segala keberhasilan dan yang penting siap menghadapi kegagalan-kegagalan.
Kegiatan belajar bersama yang materinya adalah tentang hukum pertanahan, HAM, organisasi pemerintahan akan memperkuat pengetahuan masyarakat yang selama ini lemah secara intelektual karena pendidikan mereka yang rata-rata rendah atau bahkan banyak yang tidak pernah sekolah.
Ketiga, menyusun strategi tentang arah perjuangan dan apa saja yang akan dilakukan oleh organisasi masyarakat yang diadvokasi. Dalam keadaan-keadaan tertentu terkadang penting untuk melibatkan struktur politik terlibat turut memberikan dukungan gerakan masyarakat untuk mencapai tujuan mereka. Kasus Margorukun Lestari Banyuwangi adalah contoh kurangnya dukungan jaringan organisasi dan struktur politik. Tetapi sebaliknya kasus tanah Desa Sendi Mojokerto mendapatkan dukungan yang amat luas, termasuk kekuatan politik lokal.
Dalam gerakan sosial itu hambatan yang paling sering terjadi adalah perpecahan di kalangan masyarakat sendiri yang memperlemah gerakan. Kadangkala dapat diatasi dan dapat dipersatukan tetapi banyak pula yang sulit dipersatukan.
Evaluasi advokasi dilakukan secara periodik dalam pertemuan-pertemuan evaluasi. Tak jarang bahkan dalam advokasi konsorsium terjadi kesalahpahaman dan perpecahan antar aktivis atau organisasi yang melakukan advokasi.
Keempat, setelah organisasi masyarakat terbentuk dan lebih matang dalam pengetahuan serta keberanian berargumentasi maka tiba saatnya melakukan hal-hal yang disepakati. Bagian-bagian organisasi masyarakat, misalnya: lobi, humas, hukum, penggalangan dana, pengorganisasian, pendidikan, dan lain-lain mulai digerakkan. Surat-menyurat dilakukan, mendatangai lembaga atau pejabat yang berwenang, mengumpulkan data-data sebanyak-banyaknya adalah sangat penting, serta menggalang dukungan seluas-luasnya, melakukan demonstrasi dalam hal upaya lobi dan korespondensi kurang mendapatkan perhatian.
Sedapat mungkin dalam advokasi untuk tidak terburu-buru mengajukan upaya hukum. Upaya hukum akan dilakukan jika terdapat tanda-tanda dukungan dari para penegak hukum. Untuk mencari dukungan penegak hukum maka organisasi masyarakat dan para pendampingnya harus meluangkan waktu untuk berkomunikasi dengan para penegak hukum dalam rangka membuka wacana tentang persoalan yang dihadapi masyarakat.
PRINSIP ADVOKASI
Advokasi dilakukan hendaknya tidak dengan gaya berpikir legal formal atau positivistik. Advokasi pada prinsipnya adalah BERPIHAK KEPADA YANG LEMAH. Meski dalam hal ini tidak bermaksud untuk membenarkan suatu kesalahan.
Sebagai ilustrasi dalam melakukan advokasi dapat diberikan contoh penerapan hukum pada jaman Nabi Muhammad dan para khalifah yang adil, di mana para pencuri yang miskin diberikan ampunan dan negara diwajibkan untuk mengurusi kebutuhan keluarganya hingga mampu.
Tetapi dalam praktiknya di Indonesia terjadi hal yang sebaliknya, di mana dilakukan kriminalisasi kepada kaum lemah, dengan cara rekayasa hukum. Hukum ditegakkan dengan cara melanggar hukum. Orang yang miskin hidup di tanah negara dipenjara dengan alasan tidak mempunyai dasar hak, tetapi negara membiarkannya dalam keadaan miskin. Itu adalah contoh pelanggaran HAM oleh pemerintah sebab pemerintah (pusat dan daerah) wajib menegakkan dan memenuhi HAM warga negara (pasal 28 I ayat 4 UUD 1945).
Hal yang mendasar dalam negara hukum Indonesia yang selama ini dilupakan adalah pelaksanaan keadilan sosial. Dengan semakin banyaknya produk hukum yang disisipi kepentingan para pemilik kapital maka advokasi juga harus mengarah pada kontrol penyusunan berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk tentang tataguna usaha tanah dan rencana tata wilayah.
Advokasi juga dilakukan dalam rangka menciptakan kemandirian sosial di mana rakyat tidak lagi bergantung kepada pemerintah.
Surabaya, 22 Januari 2009.
Ada banyak kasus sengketa agraria khusus dalam bidang pertanahan yang terjadi di masyarakat, terutama sisa-sisa masalah Orde Baru maupun akibat pemiskinan struktural. Pemiskinan struktural adalah pemiskinan akibat pemerintahan yang memihak kepada struktur masyarakat pengusaha dan mengorbankan masyarakat lemah.
Pembebasan tanah rakyat secara paksa selain menghilangkan hak-hak milik atas tanah juga menyebabkan perpindahan penduduk yang semakin miskin mencari lahan-lahan kosong (tanah bebas) di berbagai daerah, menetap bertani selama puluhan tahun. Selanjutnya ketika ada pemilik kapital – baik pemerintah sendiri melalui BUMN atau BUMD maupun swasta – yang menghendaki tanah yang dikelola masyarakat miskin tersebut maka dilakukan pengosongan paksa dan kriminalisasi. Contoh kasus ini yang paling mutakhir adalah sengketa pertanahan antara masyarakat Margorukun Lestari Desa Kebonrejo, Kecamatan Kalibaru, Banyuwangi melawan PTPN XII, sebuah BUMN yang bergerak di bidang perkebunan.
Sedangkan contoh sisa kasus sengketa pertanahan akibat pembebasan paksa jaman Orde Baru adalah kasus Alastlogo Pasuruan, kasus tambak garam Kalianget di Sumenep (masih bersifat laten atau belum terang-terangan). Ada pula kasus tanah sisa zaman Belanda seperti contohnya pada kasus tanah Sendi, Pacet, Mojokerto. Selain itu, di zaman reformasi juga terdapat modus-modus tukar guling tanah-tanah masyarakat bekas tanah desa yang sudah diubah menjadi kelurahan.
Tampaknya kasus-kasus tanah rakyat akan terus berlangsung dan membutuhkan perhatian tersendiri. Dalam beberapa contoh kasus tersebut seringkali berujung pada sengketa hukum yang tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat korban yang lemah untuk dapat menikmati hak keadilan mereka.
Fenomena gaya pikir hukum legal formal dan positivistik ditambah dengan praktik penegakan hukum yang korup menjadi masalah penting yang menghambat pemenuhan hak keadilan sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang telah diakui dalam amandemen UUD 1945 dan secara khusus dirumuskan dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dalam keadaan seperti itulah advokasi menjadi sebuah kebutuhan bagi masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi dan intelektual. Tanpa ada upaya-upaya pembelaan kepada masyarakat lemah yang ditindas oleh oligarki kekuasaan politik-ekonomi maka hak keadilan hanya masih menjadi utopia.
Dalam konstruksi pemikiran hukum yang sejati, hukum adalah untuk keadilan. Para intelektual hukum yang membiarkan adanya penindasan adalah para intelektual yang tidak bertanggung jawab, sebagaimana pendidikan hukum mengamanatkan tegakknya hukum dan keadilan yang dalam pengertian lebih rasional adalah adanya upaya-upaya dan pekerjaan yang bersifat sosial, nonkomersial, untuk membantu masyarakat lemah ekonomi dan intelektual agar dapat berpartisipasi dalam hidup bernegara yang lebih adil.
BENTUK ADVOKASI
Masyarakat lemah dalam kasus-kasus sengketa pertanahan melawan penguasa (ekonomi) menurut pengalaman sekurang-kurangnya dapat dibagi menjadi beberapa jenis kategori menurut perspektif legalitas hukumnya, yaitu:
1. Kategori pertama: Masyarakat korban pembebasan tanah secara paksa yang mempunyai sisa-sisa bukti formal berupa girik atau petok D;
2. Kategori kedua: Masyarakat korban pembebasan tanah secara paksa yang kehilangan surat-surat bukti hak;
3. Kategori ketiga: Masyarakat yang menempati dan mengelola tanah-tanah bebas yang tidak mempunyai alat bukti hak atas tanah, lalu berhadapan dengan korporasi yang memperoleh hak formal atas tanah negara;
4. Kategori keempat: Masyarakat yang kehilangan hak kolektif atas tanah karena perubahan status desa menjadi kelurahan.
Di luar keempat kategori tersebut dimungkinkan ada jenis lainnya.
Cara menilai aspek legalitas dari keempat jenis atau kategori tersebut sebagai berikut:
1. Kategori pertama: penegak hukum lebih mudah mengakui hak mereka, tetapi tidak jarang penegak hukum terjebak dalam pemikiran legal formal jika ternyata lawan masyarakat tersebut mempunyai alat bukti sertifikat hak atas tanah. Cara mereka berpikir adalah: sertifikat lebih kuat dibandingkan girik atau petok.
Cara berpikir ini mestinya tidak benar, sebab sertifikat hak atas tanah dimungkinkan untuk dibatalkan atau menjadi tidak sah jika diperoleh dengan cara-cara yang tidak benar.
2. Kategori kedua: penegak hukum cenderung tidak mengakui hak masyarakat atas tanah yang tidak dibuktikan dengan alat bukti surat. Cara pikir itu juga keliru sebab bahkan dalam PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah pun diatur cara pembuktian hak lama dengan keterangan kepala desa yang menerangkan penguasaan fisik tanah selama 20 tahun tanpa gangguan hak, jika alat bukti surat tidak ditemukan (pasal 24 ayat 2 jo. pasal 39 ayat 1 huruf b angka 1).
3. Kategori ketiga: Penegak hukum akan membela korporasi yang mempunyai alat bukti hak berupa sertifikat hak atas tanah dan cenderung tidak mau meneliti apakah sertifikat serta gambar situasi atau surat ukurnya sesuai kenyataan atau tidak.
4. Kategori keempat: Penegak hukum mengikuti ketentuan hukum administrasi negara sehingga tidak lagi mengakui hak kolektif masyarakat bekas pemilik hak kolektif atas tanah. Dalam hal ini tanah jatuh menjadi tanah negara.
Bentuk advokasi yang dilakukan berkaitan dengan sengketa pertanahan tersebut pada dasarnya sesuai prinsip manajemen. Advokasi hendaknya dilakukan secara terstruktur, sedapat mungkin beraliansi dengan organisasi lainnya termasuk merangkul kekuatan-kekuatan lokal baik organisasi kemahasiswaan, keagamaan, kepemudaan, paguyuban masyarakat yang ada dan lain-lain.
Pertama, ddvokasi dilakukan dengan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi. dalam hal advokasi dilakukan secara sindikasi atau konsorsium maka perencanaan disusun secara bersama-sama, termasuk menyepakati target-target yang akan dicapai dan tindakan-tindakan lain ketika target serta tujuan tidak tercapai.
Kedua, memulai advokasi dengan membentuk kelompok belajar bagi warga: para pemuda, ibu-ibu, bapak-bapak, lalu mereka bertemu dalam bentuk paguyuban warga. Ini selanjutnya akan menjadi organisasi rakyat yang di dalamnya terdapat kepengurusan dan cara penggalangan dana perjuangan mereka. Organisasi perjuangan rakyat ini sangat penting agar pertama-tama terwujud manajemen gerakan masyarakat yang lebih rapi dan teratur, mampu menggerakkan semangat bersama, mengantisipasi segala keberhasilan dan yang penting siap menghadapi kegagalan-kegagalan.
Kegiatan belajar bersama yang materinya adalah tentang hukum pertanahan, HAM, organisasi pemerintahan akan memperkuat pengetahuan masyarakat yang selama ini lemah secara intelektual karena pendidikan mereka yang rata-rata rendah atau bahkan banyak yang tidak pernah sekolah.
Ketiga, menyusun strategi tentang arah perjuangan dan apa saja yang akan dilakukan oleh organisasi masyarakat yang diadvokasi. Dalam keadaan-keadaan tertentu terkadang penting untuk melibatkan struktur politik terlibat turut memberikan dukungan gerakan masyarakat untuk mencapai tujuan mereka. Kasus Margorukun Lestari Banyuwangi adalah contoh kurangnya dukungan jaringan organisasi dan struktur politik. Tetapi sebaliknya kasus tanah Desa Sendi Mojokerto mendapatkan dukungan yang amat luas, termasuk kekuatan politik lokal.
Dalam gerakan sosial itu hambatan yang paling sering terjadi adalah perpecahan di kalangan masyarakat sendiri yang memperlemah gerakan. Kadangkala dapat diatasi dan dapat dipersatukan tetapi banyak pula yang sulit dipersatukan.
Evaluasi advokasi dilakukan secara periodik dalam pertemuan-pertemuan evaluasi. Tak jarang bahkan dalam advokasi konsorsium terjadi kesalahpahaman dan perpecahan antar aktivis atau organisasi yang melakukan advokasi.
Keempat, setelah organisasi masyarakat terbentuk dan lebih matang dalam pengetahuan serta keberanian berargumentasi maka tiba saatnya melakukan hal-hal yang disepakati. Bagian-bagian organisasi masyarakat, misalnya: lobi, humas, hukum, penggalangan dana, pengorganisasian, pendidikan, dan lain-lain mulai digerakkan. Surat-menyurat dilakukan, mendatangai lembaga atau pejabat yang berwenang, mengumpulkan data-data sebanyak-banyaknya adalah sangat penting, serta menggalang dukungan seluas-luasnya, melakukan demonstrasi dalam hal upaya lobi dan korespondensi kurang mendapatkan perhatian.
Sedapat mungkin dalam advokasi untuk tidak terburu-buru mengajukan upaya hukum. Upaya hukum akan dilakukan jika terdapat tanda-tanda dukungan dari para penegak hukum. Untuk mencari dukungan penegak hukum maka organisasi masyarakat dan para pendampingnya harus meluangkan waktu untuk berkomunikasi dengan para penegak hukum dalam rangka membuka wacana tentang persoalan yang dihadapi masyarakat.
PRINSIP ADVOKASI
Advokasi dilakukan hendaknya tidak dengan gaya berpikir legal formal atau positivistik. Advokasi pada prinsipnya adalah BERPIHAK KEPADA YANG LEMAH. Meski dalam hal ini tidak bermaksud untuk membenarkan suatu kesalahan.
Sebagai ilustrasi dalam melakukan advokasi dapat diberikan contoh penerapan hukum pada jaman Nabi Muhammad dan para khalifah yang adil, di mana para pencuri yang miskin diberikan ampunan dan negara diwajibkan untuk mengurusi kebutuhan keluarganya hingga mampu.
Tetapi dalam praktiknya di Indonesia terjadi hal yang sebaliknya, di mana dilakukan kriminalisasi kepada kaum lemah, dengan cara rekayasa hukum. Hukum ditegakkan dengan cara melanggar hukum. Orang yang miskin hidup di tanah negara dipenjara dengan alasan tidak mempunyai dasar hak, tetapi negara membiarkannya dalam keadaan miskin. Itu adalah contoh pelanggaran HAM oleh pemerintah sebab pemerintah (pusat dan daerah) wajib menegakkan dan memenuhi HAM warga negara (pasal 28 I ayat 4 UUD 1945).
Hal yang mendasar dalam negara hukum Indonesia yang selama ini dilupakan adalah pelaksanaan keadilan sosial. Dengan semakin banyaknya produk hukum yang disisipi kepentingan para pemilik kapital maka advokasi juga harus mengarah pada kontrol penyusunan berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk tentang tataguna usaha tanah dan rencana tata wilayah.
Advokasi juga dilakukan dalam rangka menciptakan kemandirian sosial di mana rakyat tidak lagi bergantung kepada pemerintah.
Surabaya, 22 Januari 2009.
Sabtu, 2008 September 06
LUMPUR LAPINDO, HARUSKAH MENUNGGU PENGADILAN?
Pihak Lapindo dan banyak kalangan menilai bahwa Lapindo Brantas Inc (Lapindo) belum diputuskan bersalah oleh pengadilan, tapi bersedia membayar ganti rugi kepada korban lumpur Lapindo (khusus untuk yang ada dalam peta terdampak 22 Maret 2007). Hal itu dinilai sebagai ‘kebaikan’ atau itikad baik Lapindo.
Untuk memperoleh cara pikir yang lebih komprehensif, tulisan ini hendak mengulas setidaknya berkaitan dengan dua pertanyaan, yaitu: (1) Apakah menentukan Lapindo bersalah atau tidak harus menunggu putusan pengadilan? (2) Bagaimana prinsip pertanggungjawaban dalam usaha hulu minyak dan gas bumi (migas)? Tentu saja, karena pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan hukum, maka jawabannya juga berdasarkan hukum.
Penyebab semburan lumpur
Seperti kita ketahui, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memutuskan gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) kepada Lapindo dinyatakan ditolak. Alasan hakim, semburan lumpur Lapindo merupakan bencana alam, bukan kesalahan Lapindo. WALHI banding atas putusan tersebut sehingga menurut hukum acara perdata putusan PN Jakarta Selatan itu belum mempunyai kekuatan hukum tetap alias mental.
Berbeda dengan PN Jakarta Pusat telah berpendapat bahwa semburan lumpur Lapindo disebabkan kelalaian Lapindo dalam melakukan pemboran. Tetapi gugatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) itu ditolak oleh majelis hakim PN Jakarta Pusat dengan alasan tidak ada pelaggaran HAM karena Lapindo dan pemerintah dinilai telah memenuhi HAM para korban. YLBHI mengajukan banding atas putusan tersebut sehingga putusan PN Jakarta Pusat juga masih belum mempunyai kekuatan hukum tetap.
WALHI mengajukan gugatan kepada Lapindo dan pemerintah dalam tema pencamaran dan perusakan lingkungan hidup. WALHI menggunakan kedudukan hukumnya sebagai organisasi wali lingkungan hidup (yang di dalamnya terdapat aktor lingkungan berupa manusia). Sedangkan YLBHI mengajukan gugatan kepada Lapindo dan pemerintah dalam tema pelanggaran HAM. YLBHI menggunakan kedudukannya sebagai organisasi pejuang HAM (human rights sefender). Sedangkan warga korban Lapindo sendiri hingga saat ini belum pernah menggugat Lapindo.
Proses hukum pidana kasus lumpur Lapindo ditangani Polda Jatim. Penyidik telah bekerja keras melakukan pemeriksaan perkara. Penyidik telah melimpahkan berkas kasus tersebut ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur tanggal 30 Oktober 2006 tapi berkasnya masih terus dikembalikan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dengan petunjuk (P19) secara berulang-ulang, hingga sekarang, dengan petunjuk berubah-ubah.
Mengapa berkas kasus lumpur itu bisa bolak-balik seperti penari kuda lumping? Dengan pikiran positif kita masih bisa menduga bahwa Jaksa yang menangani kasus itu ingin berkas perkara itu benar-benar sempurna sehingga para tersangka/terdakwa kasus lumpur yang berjumlah 13 orang itu tidak akan lolos dari jerat hukum.
Namun ada pula pihak-pihak yang meragukan, jangan-jangan kalau para terdakwa bebas maka masyarakat tidak dapat meminta ganti rugi kepada Lapindo? Seandainya kemungkinan paling buruk bahwa para terdakwa kasus lumpur itu dibebaskan maka menurut pasal 1919 KUHPerdata, putusan pembebasan terdakwa itu tidak boleh dijadikan alat untuk menolak gugatan ganti rugi. Artinya, dalam satu kasus, hakim yang mengadili perkara perdatanya tidak terikat dengan putusan perkara pidananya. Apalagi secara perdata dalam kasus Lapindo ini urusan penyelesaian masalah sosialnya tidak melalui pengadilan, tapi dengan kebijakan (beleid) berupa Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 (Perpres No. 14 Tahun 2007).
Penegak hukum dalam kasus lumpur pernah mengatakan bahwa fakta kasus tersebut tidak dapat dilihat dengan mata. Artinya, penyidik atau siapapun tidak bisa mengetahui kejadian di dalam bumi. Menurut mereka, kasus tersebut sangat bergantung pada keterangan para ahli.
Tapi, hukum tidak selalu mensyaratkan terbuktinya fakta dari pengetahuan mata secara langsung. Ada hal-hal yang bisa dicari korelasi kausalitasnya dengan logika obyektif, meminjam istilah Prof. Moeljatno. Contohnya dalam kasus pembunuhan kepada Munir, tidak satupun saksi mata yang melihat.
Dengan berbekal pada logika obyektif tersebut, kiranya tidak sulit mencari penyebab semburan lumpur tersebut. Meskipun kejadian di dalam bumi tidak dapat dilihat, seluruh kegiatan pemboran tersebut terekam dalam dokumen-dokumen real time chart, daily drilling report, dan lain-lain. Dalam pemboran juga ada standard operating procedur (SOP) serta kaidah keteknikan yang baik. Jika SOP atau kaidah keteknikan itu dilanggar maka disitulah kesalahan bermula.
Namun penegak hukum harus cermat, sebab tampaknya sudah ada indikasi dari Lapindo untuk "menyembunyikan" alat bukti dokumen asli riwayat pemboran, seperti kesaksian Andang Bachtiar. Ahli pemboran dan geologi yang diperiksa penyidik Polda Jawa Timur itu dalam milis IAGI.net (18/7/2008) mengungkapkan kesaksian sebagai berikut: "Yang diserahkan ke pihak berwajib itu, setahu saya adalah: REPRINT dari REAL-TIME CHART berdasarkan digital asci file yang direprint dg skala berbeda (lebih rapat) dari aslinya, kemudian difoto-copy dan diberikan coretan komentar (tambahan) yang kesemuanya dilakukan 9 bulan setelah kejadian (Jan-Peb 2007), sedangkan REAL-TIME CHART asli print-out dari lapangan yang biasanya diberi catatan2 tambahan oleh Mudlogger maupun Pressure Engineer pada saat kejadian, setahu saya tidak dimiliki oleh pihak yang berwajib. Kabarnya LBI-pun tidak memiliki lagi barang tersebut, karena menurut yang saya dengar: demi kepentingan hukum pihak yang bersengketa, barang tersebut dikuasai oleh pengacara. Setahu saya, geolograph chart IADC yang bulet2 itupun tidak dimiliki oleh pihak berwajib."
Bagaimana dengan pendapat bahwa semburan lumpur Lapindo akibat gempa Jogja? Ini sangat sulit membuktikannya, melainkan hanya dengan asumsi-asumsi geologis (tidak mungkin dibuktikan secara teknis). Sedangkan asumsi atau hipotesis bukanlah alat bukti hukum.
Banyak ahli berpendapat bahwa gempa Jogja bukan penyebab semburan lumpur. Semburan lumpur itu dipicu oleh aktivitas eksplorasi (man-made), bukan karena gempa Jogja (Richard J. Davies, GSA Today, Februari 2007). Amien Widodo, Kepala Pusat Studi Bencana ITS, Richard J Davies, Andang Bachtiar, Rudi Rubiandini, Masrufin, termasuk para ahli yang tidak sepakat bahwa gempa Jogja merupakan pemicu semburan lumpur Lapindo di sumur Banjar Panji 1 (BJP-1) Porong.
Hasil pencatatan Badan Metereologi dan Geofisika yang dipaparkan Tiar Prasetya menunjukkan gelombang primer gempa Jogja tidak merambat homogen ke segala arah, tetapi terpolarisasi (terkutubkan) sekan-akan membentuk pola bunga melati. Jalur kerusakan ke arah Timur melintasi Pacitan, jika sumbu polarisasi ke arah Timur diteruskan maka posisinya jauh dari Porong (Masrufin, 15/7/2006).
Secara lebih moderat - dengan tidak mau memutlakkan gempa Jogja sebagai bukan sebab - Prof. Perry Burhan, guru besar Geokimia Organik ITS, mengatakan bahwa akibat gesekan gempa Jogja bisa jadi penyebab semburan lumpur. Tetapi seandainya Lapindo memasang casing dalam melakukan pemboran maka semburan itu tak akan terjadi sebab di situ terdapat lapisan diapir yang sudah diketahui Lapindo (Antara.co.id, 11/9/2007).
Tetapi hukum tentu tidak cukup hanya dengan pendapat-pendapat para ahli tersebut. Fakta hukum membutuhkan alat bukti. Alat bukti itu diperoleh dari hasil-hasil penyelidikan data-data dalam mencari penyebab semburan lumpur itu. Fakta-fakta itu diantaranya bahwa dalam proses pemboran di sumur BJP-1 telah terjadi masalah, diantaranya: terjepitnya bor, dipotongnya pipa bor, digunakannya blow out preventer (BOP) untuk menutup tekanan gas dari bawah, dan lain-lain merupakan fakta-fakta yang dapat dibuktikan. Problem pemboran tersebut juga tertuang dalam dokumen kronologi dan perencanaan penanganan semburan lumpur yang dibuat BP Migas dan Lapindo Brantas tertanggal 12 Juni 2006.
Sedangkan fakta tidak dipasangnya casing di kedalaman tertentu dapat dilihat dari alat bukti surat Medco kepada Lapindo, No. MGT-088/JKT/06, tertanggal 5 Juni 2006, yang menyatakan bahwa dalam technical meeting tanggal 18 Mei 2006 Medco telah memperingatkan agar dilakukan pemasangan casing 9-5/8” di kedalaman 8.500 kaki untuk antisipasi potensi masalah sebelum penetrasi ke formasi Kujung, sebagai program yang telah disetujui. Tetapi operator pemboran Lapindo tidak melaksanakannya.
Alat bukti lainnya adalah hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam laporannya tertanggal 29 Mei 2007, menyatakan bahwa semburan lumpur Lapindo itu akibat kesalahan teknis dalam pemboran, termasuk disebabkan peralatan serta tenaga pemboran yang tidak memenuhi syarat teknis yang baik.
Beberapa temuan BPK soal teknis tersebut di antaranya (tidak semua disebutkan dalam tulisan ini):
(1) Berdasarkan daily drilling report disebutkan bahwa beberapa kegagalan pelaksanaan kegiatan disebabkan rendahnya kualitas personel, misalnya adanya indikasi ketidakmampuan drilling crew dalam mengoperasikan peralatan pemboran, meski menurut Lapindo mereka sudah memegang sertifikat Pusat Pelatihan Tenaga Pengeboran Minyak (PPT Migas Cepu);
(2) Peralatan pemboran yang digunakan oleh kontraktor Lapindo (PT. MCN) dan subkontraktor sering mengalami kerusakan. Selain itu juga ada indikasi penggunaan suku cadang bekas/kualitas rendah maupun kanibalisme suku cadang antar perlatan. Kondisi tersebut mengindikasikan tidak tersedianya peralatan dan suku cadang yang berkualitas secara memadai sehingga meningkatkan risiko kegagalan kegiatan dan berlarut-larutnya pelaksanaan kegiatan. Keterlambatan pelaksanaan pemboran yang disebabkan oleh hal-hal tersebut mencapai kurang lebih 27 hari.
(3) Pihak Lapindo (dengan kontraktor PT MCN) sampai dengan tanggal 27 Mei 2006 telah mengebor sumur BJP-1 sampai dengan kedalaman 9.297 kaki. Namun demikian, casing baru dipasang sampai kedalaman 3.580 kaki. Hal ini berarti ada bagian lubang sumur yang belum dipasang casing atau dibiarkan tetap terbuka (open hole) sedalam 5.717 kaki (antara kedalaman 3.580 kaki ke 9.297 kaki). Open hole yang panjang tersebut mempunyai pengaruh terhadap kecepatan dan ketepatan penyelesaian well problem seperti well kick dan loss.
(4) Ada indikasi operator terlambat menutup sumur BJP-1 sejak terjadinya kick pada kedalaman 7.415 kaki. Penutupan sumur baru dilakukan pada saat mata pipa bor berada pada kedalaman 4.241 kaki dengan besaran kick jauh di atas toleransi. Keterlambatan menutup sumur tersebut mengakibatkan kick tidak tertangani secara benar yang pada akhirnya mengakibatkan underground blowout.
(5) Berita Acara tanggal 8 Juni 2006 tentang penanggulangan kejadian semburan lumpur di sekitar Sumur BJP-1 menyatakan bahwa BP Migas maupun Lapindo sepakat semburan tersebut sebagai akibat dari underground blowout. Semburan diduga berasal dari 2 (dua) zona yang berbeda yaitu overpressure zone dan Formasi Kujung (formasi batuan gamping) dan mengalir ke permukaan melalui zona patahan yang telah ada.
(6) Laporan Loss Adjuster Matthews Daniel International, Pte, Ltd tanggal 5 Desember 2006 menyimpulkan bahwa semburan lumpur yang berkelanjutan merupakan hasil dari keluarnya cairan yang berasal dari Sumur BJP-1 dimana cairan tersebut berpindah ke permukaan melalui formasi geologis.
Berdasarkan uraian tersebut, secara hukum Lapindo dapat dinyatakan bersalah dalam melakukan pemboran yang mengakibatkan semburan kumpur itu, sekurang-kurangnya dengan alat-alat bukti: (1) alat bukti surat berupa dokumen real time chart, daily drilling report, SOP, dokumen audit BPK, surat Medco kepada Lapindo No. MGT-088/JKT/06, tertanggal 5 Juni 2006, dokumen kronologi dan perencanaan penanganan semburan yang dibuat Lapindo dan BP Migas tanggal 12 Juni 2006, dan lain-lain surat; (2) alat bukti keterangan para saksi pelaksana pemboran dan korban yang saat itu berada di sekitar serta mengetahui adanya kegiatan pemboran; dan (3) alat bukti keterangan ahli yang menjelaskan alat bukti surat-surat tersebut.
Berbagai alat bukti tersebut telah memenuhi standard degree of evidence, baik menurut hukum acara pidana, perdata dan administrasi negara.
Apakah harus menunggu putusan pengadilan?
Menurut BPK, Ditjen Migas telah melakukan investigasi kasus semburan lumpur Lapindo itu pada tanggal 30 Mei s.d. 2 Juni 2006. Tetapi Ditjen Migas belum mengemukakan apakah peristiwa tersebut berhubungan dengan masalah pidana atau kecelakaan kerja. Padahal salah satu kewenangan Ditjen Migas menurut Keputusan Menteri ESDM No.1088K/20/MEM/2003 tanggal 17 September 2003 adalah melakukan investigasi kecelakaan kegiatan eksplorasi dalam rangka penentuan apakah berhubungan dengan masalah pidana atau kecelakaan operasional. Itu berkaitan dengan hukum administrasi negara permigasan. Jadi, Ditjen Migas selaku pejabat administrasi negara sebenarnya berwenang memutuskan ada atau tidaknya pelanggaran yang dilakukan Lapindo, tanpa menunggu putusan pengadilan.
Keputusan Ditjen Migas untuk menentukan ada atau tidaknya pelanggaran dalam kasus pertambangan migas seperti itu juga terkait dengan tindakan hukum selanjutnya, entah itu dalam bidang hukum pidana (dengan menyerahkan ke kepolisian) maupun pemberian sanksi administrasi kepada pelaku usaha tambang migas yang terbukti melanggar.
Dalam hukum lingkungan juga ditentukan wewenang Gubernur (yang dapat diserahkan ke Bupati) untuk melakukan paksaan pemerintahan agar penanggung jawab usaha melakukan tindakan mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran (pasal 25 UU No. 23 Tahun 1997). Artinya, Gubernur (juga selaku pejabat administrasi Negara) berwenang menilai ada atau tidaknya pelanggaran dalam kasus lingkungan hidup, tanpa menunggu putusan pengadilan. Tentu saja hal itu diputuskan melalui alat-alat bukti yang cukup tersebut.
Mengapa hukum mengatur seperti itu, tidak menunggu putusan pengadilan dalam kasus seperti itu? Itulah merupakan fungsi hukum administrasi negara yang diperlukan untuk mengatasi persoalan yang membutuhkan kecepatan waktu. Apabila penanggung jawab usaha tidak menerima keputusan pemerintah maka dapat mengajukan gugatan atau mengujinya di pengadilan. Itu merupakan risiko pemerintahan yang sudah biasa. Jika ternyata putusan pengadilan nantinya misalnya memenangkan penanggung jawab usaha maka itu merupakan konsekuensi yang harus ditanggung negara, sehingga negara wajib mematuhi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Namun dengan cara penyelesaian penggunaan hukum administrasi negara lebih dulu maka akan dapat memberikan kepastian kepada rakyat korban agar segera memperoleh penyelesaian. Dalam situasi sosial kemasyarakat yang darurat justru dibutuhkan kecepatan tindakan oleh pejabat administrasi negara yang berwenang.
Dalam kasus lumpur Lapindo tampaknya hukum administrasi Negara itu dijalankan oleh Presiden dengan mengeluarkan Perpres No. 14 Tahun 2007, meski bentuknya setengah aturan dan setengah keputusan. Dikatakan setengah aturan karena bentuknya Peraturan Presiden. Dikatakan setengah keputusan sebab menunjuk konkrit dan individual serta final menunjuk Lapindo bertanggung jawab mengeluarkan uang untuk penyelesaian sosial dengan cara “jual-beli” tanah dan rumah korban Lapindo dalam peta wilayah terdampak 22 Maret 2007.
Kelompok korban Lapindo yang tidak sepakat dengan pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 telah meminta agar Mahkamah Agung menguji Perpres No. 14 Tahun 2007. Kemudian MA memutuskan menolak permohonan uji materiil itu dan mengukuhkan pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 (putusan MA No. 24 P/HUM/2007). Artinya, dalam kasus Lumpur Lapindo sebenarnya sudah keluar putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang merumuskan pertimbangan menyetujui kebijakan Presiden dalam membebankan tanggung jawab penyelesaian sosial dengan jual-beli tanah dalam peta terdampak 22 Maret 2007 itu.
Putusan MA tersebut tidak tegas menyatakan Lapindo bersalah, sebab memang proses uji materiil terhadap Perpres No. 14 Tahun 2007 tidak mungkin menyatakan Lapindo bersalah, karena itu bukan perkara perdata atau pidana dan Lapindo juga bukan pihak perkara dalam permohonan itu).
Namun dalam halaman 57 - 58 putusan MA No. 24 P/HUM/2007 tersebut MA merumuskan pertimbangan diantaranya: “Bahwa oleh karena itu Pasal 15 Peraturan Presiden RI. No. 14 Tahun 2007 tersebut memberikan hak dan jaminan bagi pemilik tanah dan bangunan terdampak luapan Lumpur Sidoarjo untuk mendapatkan ganti rugi nilainya melalui JUAL BELI dengan harga yang didasarkan atas persetujuan atau kesepakatan para korban pemilik tanah dan bangunan. Dengan demikian tidak ternyata ketentuan Pasal 15 Peraturan Presiden tersebut mengandung atau menampakkan ada penyalahgunaan wewenang ataupun adanya kesewenang-wenangan dari Presiden RI., satu dan lain hal karena muatan kebijakannya sudah memperhatikan baik kepentingan PT. Lapindo Brantas disatu pihak maupun kepentingan masyarakat terdampak luapan Lumpur Sidoarjo dilain pihak secara wajar dan proporsional; lagipula Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 tidak mengandung hal-hal yang memaksa, karena pelaksanaannya sepenuhnya atas dasar kata sepakat antara anggota-anggota masyarakat yang bersangkutan dengan PT. LAPINDO BRANTAS.”
Nah, ternyata cara pandang MA dalam kasus Lapindo sama dengan cara pandang orang pada umumnya bahwa cara JUAL BELI tanah dan bangunan korban itu disebut sebagai GANTI RUGI. Jika ditarik logika hukumnya, GANTI RUGI hanya diterapkan bagi orang yang kehilangan hak yang disebabkan oleh perbuatan pihak lain. Misalnya: Si B selaku developer membebaskan tanah milik si A. Berarti si B merupakan penyebab A kehilangan hak milik atas tanahnya. Secara otomatis si B wajib memberikan ganti rugi kepada si A sesuai dengan harga tanah yang mereka sepakati.
Jika logika hukum itu diurai lebih lanjut, Perpres No. 14 Tahun 2007 adalah hukum administrasi negara yang telah memutuskan Lapindo sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kasus semburan lumpur Lapindo (dengan dibatasi tanggung jawabnya hanya pada masalah sosial dalam peta terdampak 22 Maret 2007). Lapindo tidak pernah menolak ketentuan pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 Tahun 2007. Berarti secara hukum itu adalah sebagai “pengakuan bersalah”. Dan pengakuan itu tidak dapat lagi dianulir dengan dikukuhkannya pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 oleh putusan Pengadilan berupa putusan MA No. 24 P/HUM/2007 tersebut.
Politik ekonomi
Jika berpedoman pada hukum permigasan, pasal 6 ayat (2) huruf c UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas menentukan adanya kewajiban adanya ketentuan kontrak kerjasama usaha hulu migas antara pemerintah dengan pengusaha yang menentukan bahwa seluruh modal dan risiko harus ditanggung pengusaha. Dengan ketentuan tersebut maka kasus semburan lumpur Lapindo sebenarnya sudah tidak membutuhkan perdebatan benar-salah, tinggal menerapkan. Artinya, Lapindo harus dibebani menanggung risiko usahanya di sumur Blok Brantas – khususnya di sumur BJP-1 itu – yang telah menimbulkan kerugian sosial dan ekonomi negara.
Tetapi hukum itu disimpangi. Pemerintah memutuskan politik ekonomi dengan baju hukum administrasi negara dengan pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 yang membebani anggaran negara tak terbatas dengan membatasi tanggung jawab Lapindo.
Pemerintah pusat telah merumuskan kebijakan nasional dalam kasus lumpur Lapindo itu dengan rencana pengeluaran dana APBN sebesar Rp. 7,6 triliun. Jadi, opini yang menyatakan bahwa pemerintah tidak mau keluar uang adalah opini yang dilandasi ketidaktahuan. Berdasarkan kalkulasi Greenomics, jika semburan lumpur itu tak dihentikan atau tidak berhenti maka terpaksa negara akan menganggarkan Rp. 750 triliun dalam waktu sekitar 30 tahun. Berarti, anak-anak cucu kita yang saat ini belum lahir akan menanggung biaya tersebut.
Jadi, pemerintahan SBY-JK telah memutuskan untuk mengambil tanggung jawab terbesar kasus itu dibebankan kepada negara. Maka Grup Bakrie harus berterima kasih kepada pemerintahan SBY-JK dan kepada rakyat Indonesia yang menyetujui sukarela atau terpaksa atas penyelesaian hukum administrasi negara berdasarkan Perpres No. 14 Tahun 2007.
Semua itu semakin menunjukkan bahwa pemerintah pusat tidak terlalu berani untuk ‘melawan’ Lapindo. Jadi, untuk saat ini memutuskan semburan lumpur Lapindo itu sebagai bencana alam ataupun bencana akibat ulah manusia sudah tak ada gunanya dalam konteks untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab dalam kasus itu.
Namun, untuk memastikan perlindungan korban yang semakin memburuk kondisinya, maka pemerintah memang harus menerapkan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana agar perlakuan layanan kepada korban lumpur Lapindo sesuai dengan standar yang baik. Jangan kuatir! Definisi bencana menurut pasal 1 angka 1 UU No. 24 Tahun 2007 adalah bencana alam maupun bencana akibat faktor kesalahan manusia! Jadi, bencana tidak selalu merupakan bencana alam.
Untuk kasus semburan lumpur Lapindo, dengan alat bukti berjibun itu, layak jika dinyatakan sebagai bencana karena faktor (kesalahan) manusia. Karena manusia yang melakukan kesalahan itu berada dalam hubungan kerja dengan Lapindo, maka yang bertanggung jawab adalah Lapindo (Teori Hukum Risiko Ekonomi). Apabila kekayaan Lapindo tidak mencukupi maka induk perusahannya menjadi penanggungjawabnya (Doktrin Hukum Korporasi Moderen).
No comments:
Post a Comment